Jumat, 11 September 2009

Catatan Kecil Tentang Produksi dan Ide Kreatif Film-Film Indie Di Bandung

Oleh Riana Afriadi*


~Ah, film itu betul-betul cuma tempat cari makan saja,
bukan untuk memperjuangkan cita-cita~

Wahyu Sihombing


Beberapa hari yang lalu ketika dihubungi oleh panitia dan diminta untuk memberikan sebuah cacatan kecil untuk acara seminar bertema Perkembangan Film Indie di Bandung Antara Idealisme dan Profit, yang terlintas di pikiran saya adalah bagaimana sedikit menelusuri sejarah film Indonesia antara idealisme dan profit yang berpengaruh terhadap perkembangan film indie sekarang ini.

Slamet Rahardjo Djarot, salah satu sutradara kawakan, dalam sebuah harian nasional pernah mengatakan bahwa perfilman Indonesia sejak kebangkitannya merupakan hajat individu dari insan film yang tergugah untuk membuat sebuah gerakan melalui media audio visual sebagai sarana pengenalan bangsa.

Dari apa yang disampaikan oleh Slamet, poin pentingnya adalah yang digarisbawahi. Film sebagai sarana pengenalan bangsa (identitas dan idealisme). Untuk memahami uraian tersebut, dapat ditinjau melalui film Darah dan Doa karya Usmar Ismail pada tahun 1950 yang dijadikan sebagai film Indonesia pertama yang diproduksi oleh orang Indonesia secara keseluruhan.

Usmar Ismail yang dinobatkan sebagai bapak film Indonesia, lanjut Slamet, adalah seorang sutradara yang berjalan sendirian, seorang pahlawan kesepian. Ketika produksi film Darah dan Doa, Usmar adalah seorang sutradara independen yang tidak ingin kompromi dengan pihak manapun, baik pemerintah, maupun produser swasta yang pada saat itu umumnya dikuasai oleh orang keturunan yang berorientasi keuntungan (laba). Yang ada di dalam benak Usmar ketika berproses adalah bagaimana membuat film berdasarkan apa yang ada di dalam pikirannya dan cita-citanya.

Sampai pada titik ini, melalui film Darah dan Doa (1950), dapat dikatakan sebagai film independen (mandiri) pertama di Indonesia dengan idealisme Usmar Ismail yang ingin menyuarakan realitas sesuai dengan cita-citanya tanpa ada campur tangan dari pihak-pihak luar. Baginya, ketika ia membuat film harus mempunyai kesadaran budaya, intelektual dan kesenian, dan bertujuan untuk memperkenalkan realitas dan identitas masyarakat sesuai pemikirannya.

Melalui uraian di atas, pengertian tentang independen dan idealisme menjadi penting untuk dipahami. Independen yang berarti mandiri. Juga merupakan sesuatu yang ekspresif. Film Independen (indie) mempunyai pengertian bahwa film yang diproduksi secata otonomi tanpa campur tangan pihak yang komersil, dan diproses berdasarkan gaya dan isi (content analysis). Biasanya penulis atau sutradara terlibat di dalam proses akhir sebuah film, semisal distribusi. Dan Idealisme berarti sesuatu yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicantumkan atau dipahami dan dianggap sempurna (KBBI, 2003).

Dengan demikian, apa yang dilakukan Usmar Ismail melalui film Darah dan Doa (1950) merupakan salah satu teropong untuk melihat sebuah usaha atau gerakan untuk membuat sebuah film sebagai sebuah identitas yang tidak bergantung pada unsur komersial semata, melainkan sebuah ekspresi yang berdasarkan sebuah cita-cita untuk merepresentasikan realitas sebuah masyarakat. Yang pada saat itu, ketika awal kebangkitan film Indonesia, produksi-produksi film banyak dikuasi oleh pemodal yang bertujuan memperoleh laba, dan meminggirkan persoalan content analysis. Dan sebagaimana kutipan wahyu Sihombing di atas, karakter film Indonesia yang komersial dan konsumeristis bahkan bertahan kuat hingga tahun 90-an bahkan sampai saat ini.

Dan idealisme Usmar ini tentunya mengalami pasang surut pada tahun-tahun berikutnya. Sebagaimana sekitar tahun 50-an, perfilman Indonesia terbagi menjadi dua aliran dengan pelopor Usmar yang mengarah pada kesadaran budaya dan intelektual, dan Djamaluddin Malik yang mengarah pada segi selera pasar atau komersial.

Akan tetapi, semangat Usmar inilah yang kemudian dibawa oleh film makers Indonesia sekitar tahun 90-an yang tidak puas dengan sebuah hegemoni distribusi film dan yang disajikan di bioskop maupun televisi. Yang kemudian istilah film indie dan komunitas film indie mulai mencuat dikenal banyak orang di Indonesia, yang banyak lahir di lingkungan akademis setelah keruntuhan rezim orde baru.

Keberadaan film indie di Indonesia mulai tahun 1997 mulai banyak tumbuh dan berkembang, baik secara produksi dan ide kreatifnya. Sebut saja, kota-kota yang banyak lahirnya kantung-kantung film indie seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Semarang, dan Surabaya.

Nah, lantas bagaimanakah perkembangan dan karakteristik film indie di Bandung? Pertanyaan tersebut sekedar sebagai pembatas untuk coba meneropong tentang perkembangan film indie dari segi produksi dan ide kreatif. Dan Bandung, sebagai salah satu kota yang cukup banyak melahirkan kantung-kantung film indie..

Produksi dan Ide Kreatif

Di Bandung tumbuh banyak kantung-kantung pembuat film indie. Beberapa di antaranya seperti Komunitas Film Salman ITB, FSM STSI, LFM ITB, SAFERs, GSSTF Unpad, Cine Club Fikom Unpad, CINEMAKS Fisip Unpad, Rumah Buku, Ruang Merah, Gerbong Bawah Tanah, Casting Kreatif Sinema Fasa Unpad, dan masih banyak lagi.

Keberadaan mereka dalam khazanah film indie, tentunya dengan berbagai keberagaman ide kreatif. Akan tetapi, dari segi produksi dapat dipetakan adanya kesamaan. Tentunya, membahas ini, berdasarkan apa yang saya perhatikan selama ini.

Pada umumnya, semangat produksi dari pembuat film indie di Bandung sama dengan hakikat semangat produsi ketika mulai lahirnya istilah film indie (independent movie) yang terdahulu. Film indie pada dasarnya diproduksi dengan biaya yang rendah dan studio yang kecil. Film indie di dunia mulai berkembang di antara tahun 90-an yang dirangsang oleh berbagai faktor, di antaranya perkembangan dalam dunia teknologi digital yang biayanya jauh lebih murah daripada selluloid. Kemudian mempunyai ruang-ruang alternatif untuk apresiasi film-film indie, seperti festival film independen.
Faktor-faktor tersebut menjadi salah satu semangat para pembuat film indie untuk berproses sesuai ekspresi dan idealisme tanpa harus memperhitungkan untung rugi, tidak seperti apa yang diperhitungkan oleh para pembuat film dengan teknologi mahal yang seringkali harus berurusan dengan pemilik modal yang akhirnya hanya mementingkan unsur komersial. Dan Pembuat film indie tidak harus berurusan dengan pihak distribusi (ruang apresiasi) yang selama ini dikuasai oleh pihak 21, karena mereka memiliki ruang apresiasi altenatif berupa festival-ferstival tadi.

Di Bandung sendiri, ada beberapa festival yang rutin dilaksanakan walaupun selalu mengalami pasang surut. Sebut saja Patonton-tonton Film, Festival Film Pendek Bandung, dan festival yang diadakan oleh komunitas-komunitas film indie yang ada di kampus-kampus. Ruang tersebut cukup representatif sebagai ajang apresiasi dan eksistensi para pembuat film indie tersebut.

Mengenai produksinya sendiri, para pembuat film indie di bandung, pada umumnya menggunakan alat dan metode sinematografi yang sederhana. Namun, mengenai jumlah dan intensitas memproduksinya sering kali mengalami pasang surut. Tahun keemasan para pembuat film indie di Bandung adalah sekitar tahun 1998-2003. Dan didukung pula dengan festival film indie yang intens dilaksanakan. Beberapa di antaranya, Komunitas Film Salman ITB dengan kumpulan film pendeknya yang berjudul Nol Km (2003), GSSTF dengan beberapa filmnya berjudul Junkies Life Style (1998), Elliana (1998), LFM ITB dengan dengan tahun produktifnya sekitar tahun 1999-2003, dan lain-lainnya.

Sebagai catatan, seorang kawan saya sebagai salah seorang penyelenggara apresiasi film Patonton-Tonton Film, pernah mengatakan selama kegiatan apresiasi tersebut dilakukan selama satu tahun, terdapat sekitar tiga film yang diproduksi oleh pembuat film pendek di Bandung dalam satu pelaksanaan apresiasi. Secara jumlah keseluruhan, dalam satu tahun kurang lebih terdapat 15-20 film pendek yang diproduksi. Jumlah film dan pembuat film tersebut dilihat dari produksi yang telah diapresiasi, belum lagi film-film indie yang hanya selesai produksi tetapi tidak dipertontonkan pada ruang-ruang alternatif itu. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya informasi dan jaringan dengan komunitas-komunitas film indie yang lainnya yang ada di Bandung.

Selanjutnya, mengenai ide kreatif dari para pembuat film indie yang kecenderungan berdurasi pendek (film pendek) di Bandung, sangatlah beragam. Tentunya, keberagaman ini mencirikan bagaimana ke-idealis-an dari para pembuat film indie masih bertahan. Komunitas film Salman ITB, misalnya, cenderung bertema seputar persahabatan, petualangan yang dibungkus dengan religiositas.

Namun, semakin kini yang saya perhatikan, ide kreatif para pembuat film indie yang berjenis fiksi di Bandung mulai mengalami pergeseran dari semangat film indie sebelumnya yang telah diuraikan di atas. Ide kreatif dalam film-film indie di Bandung kini, tidak jauh dengan gagasan dan struktur cerita sinetron. Maaf.

Apabila diperhatikan, kecenderungan ide kreatif yang kemudian diolah menjadi sebuah film berjenis fiksi, terlalu bergegas dalam berproses tanpa mendalami hakikat sebuah drama dan sinematografi. Kini, film indie yang dipahami, adalah bagaimana memproduksi film dengan biaya murah dengan teknologi digital, dan cerita yang mengutamakan selera penonton. Dan terlebih, kurangnya kemampuan dalam distribusi film yang telah dihasilkan karena kurangnya menjalin jaringan dengan komunitas-komunitas film indie. Padahal salah satu kekuatan gerakan film indie adalah pembentukan jaringan yang besar dan kuat, agar idealisme dan identitas si pembuat film dapat diapresiasi bersama. Melalui jaringan itulah, sebuah jalan mencapai cita-cita dan eksistensi komunitas maupun pembuat film dapat dimiliki.

Uraian mengenai produksi dan ide kreatif di atas, memang terkesan sangat subyektif dan terlalu ringkas dalam sebuah kertas. Akan tetapi, saya beridealis, bahwa membicarakan pandangan adalah bercerita melalui sudut pandang. Hal paling mendasar yang cukup penting bagi para pembuat film indie berjenis fiksi adalah bagaimana ide atau gagasan dikemas dalam sebuah proses produksi yang mengutamakan content analysis untuk mengatasi kegagalan dalam logika ketat sebuah film (sinematografi dan dramaturgi). Dengan demikian, hakikat dari idealisme yaitu kesempurnaan dapat dekat dicapai. Wallahualam.

Bandung, April 2007

1 komentar:

  1. Kamu mahasiswa yang aktif? Tertarik dengan pembuatan video? Serta peduli terhadap tertib berlalu lintas?

    Tunjukkan melalui peran serta aktif dalam Indonesia Ayo Aman Berlalu Lintas dengan mengikuti Astra Road Safety Video Competition 2015.

    Untuk informasi lebih lanjut datang dan ikuti Bincang Inspiratif dan Kick off Astra Road Safety Video Competition 2015 pada Hari Selasa, 28 April 2015 di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB) pukul 08.30 WIB - selesai.

    Yang akan hadir sebagai narasumber: Dennis Adhiswara (Sineas Muda dan Sutradara), Ivan Virnanda (Ketua Road Safety Association), Marcell Kurniawan (Owner The Real Driving Course), Riza Deliansyah (PT Astra International Tbk).

    Nikmati acara lainnya Test Drive 8 unit mobil terbaru Astra, Safety Riding & Driving Simulation.

    Acara ini tidak dikenakan biaya dan special kits bagi 50 pendaftar pertama, Free Snack & Lunch, souvenir untuk seluruh peserta terdaftar, Sertifikat, menangkan Smartphone dan Doorprize menarik.

    Untuk info dan konfirmasi lebih lanjut bisa menghubungi no dibawah ini:

    CP : Wike 081220833627 (SMS/WA only)
    Raju 087833654653 (SMS/WA only)

    BalasHapus