Rabu, 09 September 2009

Dilema Usaha Manusia Rasional

Sebuah Tinjauan Teori Kritis Horkheimer Terhadap Kumpulan Cerpen
Geus Surup Bulan Purnama Karya Yous Hamdan

oleh Riana Afriadi



Pengantar
Sapere Aude! Hendaklah anda berani berpikir sendiri!
~Aufkluarung

Semboyan di atas bergema keras di abad delapan belas yang dikenal sebagai jaman Aufklarung, jaman ketika manusia mengkultuskan akal budinya sendiri. Aufklarung sendiri berarti pencerahan. Pada hakekatnya, Aufklarung berarti usaha manusia untuk mencapai pengertian rasional tentang dirinya dalam alam lingkungannya. Dalam pengertian tersebut, terdapat makna emansipatoris dari Aufklarung, yaitu pembebasan manusia dari kekuatan di luar dirinya demi kedaulatan dirinya.

Dengan demikian, Aufklarung dapat diartikan sebagai usaha manusia rasional. Sebab dengan pembebasan itulah, manusia memunyai otonomi atas dirinya sendiri, dan dengan demikian menjadi rasional.

Berdasarkan pada wacana Aufklarung di atas, seorang filosof Frankfurt bernama Max Horkheimer mengembangkan pemikiran mengenai konsep usaha manusia rasional dalam masyarakat modern. Ia memberikan pemikiran tentang teori kritis yang bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian memberikan pula kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional, tempat manusia dapat memuaskan semua kebutuhan dan kemampuannya:
... teori kritis adalah sebuah unsur hakiki dalam usaha sejarah manusia untuk menciptakan suatu dunia yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan keuatan-kekuatan manusia... tujuannya yakni pembebasan manusia dan perbudakan (Horkheimer, 1972:246).

Teori kritis Horkheimer memberikan tiga pandangan mengenai sifat teori masyarakat tersebut, yaitu pertama, teori kritis curiga dan kritis terhadap masyarakat. Teori kritis memaklumi bahwa individu tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, tetapi teori kritis apatis terhadap segala macam kaidah dan peraturan yang dibuat oleh penguasa dan dilaksanakan oleh masyarakat karena kaidah dan peraturan tersebut dibuat demi pemenuhan eksistensi individu penguasa.

Kedua, teori kritis berpikir secara ”historis”. Teori kritis berpijak pada masyarakat dalam prosesnya yang ”historis”, jadi masyarakat berada dalam totalitasnya. Totalitas inilah yang menjadi kunci untuk memahami teori kritis, sebagaimana totalitas tersebut sebagai kerangka berpikir, yakni berpikir dalam kontradiksi. Sebagai contoh, dewasa ini umumnya orang menganggap sebagai sikap rasional jika ia mau menerima tuntutan-tuntutan atau kategori-kategori yang sedang berlaku dalam masyarakat. Sikap rasional ini sebenarnya irasional karena dengan demkian orang dipaksa meniru dan menyesuaikan diri kepada tuntutan realitas secara alamiah, tanpa didasari kesadaran kritis sama sekali. Ia sudah kehilangan kebebasan, menyerahkan diri untuk diperata oleh modal.

Ketiga, teori kritis tdak memisahkan teori dan praxis. Sebagai perlawanan terhadap teori tradisional, teori kritis menyatakan bahwa teori bukan demi teori semata, tetapi harus bisa memberi kesadaran untuk mengubah realitas. Dengan demikian, aktivitas masyarakat, baginya harus kongkret dan nyata, yaitu aktivitas manusia dalam masyarakat yang dapat memengaruhi dan menjadikan masyarakat yang rasional. Sedangkan menurut Horkheimer pada teori tradisional, gagal memberikan kebebasan terhadap individu, tetapi malah membiarkan individu terbelenggu dalam masyarakat irasional.

Konsep manusia rasional dalam teori kritis Horkheimer berpandangan bahwa manusia berusaha mencari pengertian rasional tentang dirinya dalam alam lingkungannya, yaitu membebaskan manusia dari kekuatan di luar dirinya yang dianggap irasional demi kedaulatan dirinya. Tetapi setiap kali manusia mengadakan usahanya yang rasional, pada saat itu juga ia menjumpai dilema usaha manusia rasional. Horkheimer menjelaskan dilema usaha manusia rasional dengan beberapa cara seperti berikut ini.

Makin manusia berusaha membebaskan diri dari akal budi obyektif, maka akal budi manusia menjadi akal budi instrumentalis. Pembebasan dari belenggu akal budi obyektif ini adalah usaha rasional, sebab dengan itu manusia mau dan dapat kembali kepada kedaulatan akal budinya sendiri. Tapi kenyataan usaha itu sekaligus adalah irasional, sebab membuat akal budi manusia kehilangan otonominya dan menjadi alat belaka.

Akal budi obyektif adalah akal budi yang berada dalam dunia obyektif yang sifatnya universal meliputi seluruh manusia dalam hubungannya satu sama lain. Akal budi obyektif menekankan tujuan pada dirinya sendiri daripada cara. Dengan demkian, akal budi obyektif tidak bertujuan untuk menemukan sarana-sarana kemudian mengaturnya demi tercapainya tujuan. Ia mengarah pada tujuan dalam dirinya sendiri, yaitu pembangunan konsep-konsep tentang ide dari apa yang paling benar dan baik, atau tentang tujuan hidup manusia.

Sedangkan akal budi instrumentalis atau akal budi subyektif, akal budi yang mengarah pada kegunaan. Dalam pengetian umum, setiap individu yang berakal budi dapat memutuskan sesuatu yang berguna baginya. Akal budi subyektif ini sangat menekankan cara. Akal budi tersebut semata-mata dipakai sebagai sarana atau alat untuk memperhitungkan segala kemungkinan demi tercapainya tujuan dalam arti subyektif, yaitu tujuan yang berguna demi kepentingan pribadi untuk mempertahankan dirinya.

Jadi menurut Horkheimer, akal budi obyektif memunyai kewenangan terhadap manusia. Ia tidak netral, sebab isi obyektifnya sendiri mengandaikan bahwa ia memunyai tujuan tertentu yang harus dikejar manusia. Sedangkan akal budi instrumentalis tidak ubahnya sebagai suatu alat. Ia netral, maka ia dapat digunakan bahkan diperalat untuk tujuan apapun yang tidak berasal dari dirinya. Dan yang terjadi dalam masyarakat modern ini, adalah adanya pergeseran akal budi obyektif menuju akal budi instrumentalis, yang kemudian pergeseran tersebut adalah usaha manusia rasional.

Berdasarkan pemikiran Horkheimer di atas mengenai dilema usaha manusia rasional, maka penulis akan mencoba meninjau terhadap sebuah karya, yaitu kumpulan cerpen Geus Surup Bulan Purnama karya Yous Hamdan. Dalam beberapa cerpen tersebut, penulis melihat beberapa permasalahan yang terjadi pada tokoh dalam usahanya sebagai manusia rasional yang kemudian menjadi irasional atau menghadapi dilema usaha manusia rasional sebagaimana telah dijelaskan di atas.



Pembahasan
Cerpen yang akan dibahas dalam kumpulan cerpen Geus Surup Bulan Purnama adalah cerpen Geus Surup Bulan Purnama yang menurut penulis merepresentasikan tentang dilema usaha manusia rasional yang terjadi atau dialami oleh tokoh utama dalam cerpen tersebut.
Geus Surup Bulan Purnama

Peristiwa utama cerpen ini yaitu konflik batin dan ideologi yang terjadi pada tokoh utama, Bilal. Setelah Rasul wafat. Kesedihan melanda para sahabat dan kerabat Rasul. Pun Bilal, sang pengumandang adzan lebih bersedih daripada semua yang ada. Terlebih karena ia mengetahui Rosul yang memerintah pada Abu Bakar untuk memerdekakan dari perbudakan, termasuk perbudakan yang terjadi pada Bilal sebelumnya.

Bilal kemudian menjadi orang yang bebas. Sebagai balas jasanya, ia selalu mengumandangkan adzan untuk Rasul. Kematiaan Rosul menambah kerinduan Bilal. Hari-hari setelahnya ia tak mau mengumandangkan adzan. Ia beralasan suaranya hanya untuk Rasul seorang.

”Gancang panggihan Bilal, ajarkeun kalimah-kalimah adan eta. Manehna nu kudu nyoarakeun sabab sorana leuwih tarik jeung halimpu ti batan sora anjeun,”.... Bilal menang kahormatan, kaselir jadi muazin Rosul. Manehna deuih nu meunang kapercayaan nyekel al-khumus, saperlima bagian Rosul, yatim, miskin jeung ibnu sabil, tina harta rampasan perang. Bilal kaselir jadi bendaharan Rosul.
...
Bilal angger nyuuh. Awakna endag ku engapan hegak dadana. Cintana ka rosul ngaleuwihan cinta ka dirina pribadi. Geus lebur jiwa ragana kana risalah nu dicandakna. Top raga top nyawa!.
(hal.8).

Kutipan di atas menjelaskan bagaimana Bilal menyerahkan jiwa dan raga demi Rasul, cintana ka Rosul ngaleuwihan cinta ka dirina pribadi sebagai balas budi karena dirinya dibebaskan oleh Rasul dari perbudakan dan dipercaya sebagai muazin dan bendahara Rasul. Sebagai manusia, Bilal mendapatkan kebebasan dan kepercayaan sebagai kebutuhan akan identitasnya. Dalam pengertian manusia rasional, individu dituntut untuk membebaskan diri dari kekuatan di luar dirinya dan menunjukkan keberadaannya di dalam lingkungannya.

Pada satu sisi, sebagai usaha manusia rasional, Bilal terbebas dari belenggu di luar dirinya yaitu perbudakan. Tetapi di sisi lain, ia kemudian mendapat belenggu lain, yaitu pengikatan diri dari kekuatan di luar dirinya, yaitu sebagaimana ia melakukan usaha etika sebagai balas jasa kepada Rasul.

Pada peristiwa lainnya yang terjadi pada tokoh Bilal pun memperlihatkan bagaimana ia mengalami dilema sebagai usaha manusia rasional. Perhatikan kutipan di bawah ini.
Geus waktuna adan. Tapi sora Bilal angger lebeng. Breh di juru. Bilal nguhkul jero tapakur.
”Adan, ya Bilal!” salah saurang ngagero.
”Kuring moal adan-adan deui. Pek we nu sejen,” tembalna ngageuri. Luk deui tungkul.
Torojol Abu Bakar sumping, ”Ka mana Bilal? Di mana Bilal?”
”Ieu kuring, ya Abu Bakar!” tembalna bari nyampeurkeun.
”Adan, ya Bilal!”
”Moal!”
”Naha?”
”Umpama anjeun baheula ngamerdekakeun kuring teh, sangkan kuring tetep jeung anjeun, memang aya hak anjeun, ya Abu Bakar. Tapi, lamun anjeun ngamerdekakeun kuring teh ngan wungkul karana Alloh, antep kuring dina kamerdekaan kuring ieu.”
”Demi, karana Alloh kuring ngamerdekakeun anjeun.”
”Lamun kitu, kuring moal adan pikeun sing saha bae, salian ti Rosululloh.”
Bawirasa ngan ku jalan eta manehna bisa nembongkeun bela bakti jeung kasatia ka Rosululloh. Pangupukan lelembutanana, huluwotan jeung muara cintana.
(hal.11-12).

Kutipan di atas menjelaskan bagaimana Bilal yang mempertanyakan kebebasan dirinya diciptakan oleh siapa kepada Abu Bakar. Baginya, ia akan setia terhadap orang yang membebaskannya sebagai usaha kebutuhan akan keterikatan hubungan. Sebagai manusia rasional, ia menganggap bahwa kebebasan yang didapatnya karena individu lain, membuat dirinya kemudian terikat dengan individu yang memberikan kebebasan tersebut. Ia terbelenggu dengan kekuatan di luar dirinya kembali. Keterikatan terhadap Rasul tersebut mengacu pada akal budinya yang menekankan tujuan dari konsep atau ide yang paling benar baginya.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai manusia rasional yang memerlukan kebebasan dari kekuatan di luar dirinya, Bilal mendapatkannya pada saat ia dibebaskan dari perbudakan oleh Rasul. Tetapi pembebasan dari perbudakan tersebut, menjadikan Bilal kemudian terikat dengan kekuatan dari luar dirinya, yaitu kekuatan Rasul. Ia menjadi mengabdi terhadap Rasul, sehingga ketika Rasul pun tiada, ia tidak mau mengumandangkan adan.

Itulah dilema usaha manusia rasional. Ketika telah mendapatkan kebebasan, ia kembali mendapatkan belenggu dari luar kekuatan dirinya. Bilal sebagai contoh manusia yang mengalami pergeseran dari konsep mengenai ide yang paling baik dan benar berdasarkan tujuan, yaitu mengumandangkan adzan, menuju keputusan untuk tidak kembali mengumandangkan adzan sebagaimana individu yang berakal budi dapat memutuskan sesuatu yang berguna baginya. Akal budinya tersebut semata-mata dipakai sebagai sarana atau alat untuk memperhitungkan segala kemungkinan demi tercapainya tujuan dalam arti subyektif, yaitu tujuan yang berguna demi kepentingan pribadi untuk mempertahankan dirinya, yaitu mempertahankan keyakinannya dan kesetiannya terhadap Rasul. Dengan demikian, dilema usaha manusia rasional sebagaimana yang diungkapkan dalam pemikiran Horkheimer, bahwa semakin manusia berusaha menjadi manusia rasional, semakin manusia menjadi irasional.

Semakin manusia berusaha menemukan identitasnya, semakin identitas itu dihancurkannya. Pencarian dan penunjukkan identitas Bilal tersebut adalah usaha manusia rasional, sebab dengan demikian manusia memperoleh kedaulatan dirinya di tengah alam lingkungannya. Tetapi usaha itu ternyata irasional, sebab justru membuat manusia kehilangan ”kediriannya”. Akibatnya, apa yang dialami Bilal menjadi seperti barang yang tidak sadar sehingga bisa diperalat oleh kekuatan di luar dirinya untuk kepentingan apa saja. Apa yang dialami Bilal adalah contoh dari segi dilema usaha manusia rasional, bahwa usaha manusia rasional mau tidak mau harus menemui kegagalannya dalam meraih pengertian rasional tentang manusia. Wallahualam.



Daftar Acuan

Deleuze, Gilles dan FĂ©lix Guattari. 2004. What Is Philosophy? Reinterpretasi Atas Filsafat, Sains, dan Seni . Bandung: Jalasutra.

Fromm, Erich. 1997. Lari Dari Kebebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

__________________. 2005. Sastra dan Cultural Studies; Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca; Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Sindhunata. 1982. Dilema Usaha Manusia Rasional; Kritik Masyarakat Modern Oleh
Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta: PT Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar