Rabu, 09 September 2009

Idiom Estetik Chicklit

Oleh Riana Afriadi

SEPUTAR INDONESIA, 25 FEBRUARI 2007


Konsekuensi budaya kapitalisme kontemporer—yang kini sedang memantapkan dirinya di dalam masyarakat Indonesia—menuntut adanya percepatan produksi dan konsumerisme yang tinggi. Produk-produk kebudayaan dikomodifikasi untuk menghasilkan laba sebesar-besarnya dan memenuhi hasrat konsumen terhadap simbol dan prestise sosial. Hal tersebut juga terjadi pada praktik-pratik produksi seni. Di dalam industri buku fiksi misalnya, hadir genre fiksi populer dari budaya global sebagai representasi konsumerisme atau gaya hidup materialistik. Sebut saja chicklit, sebagai fiksi populer yang kini telah diakui sebagai bagian dari genre karya sastra (prosa, puisi dan drama).

Wacana keberadaan fiksi populer dalam ranah kesusastraan telah lama diperbincangkan dan dianggap selesai oleh kalangan masyarakat sastra di Barat sekitar tahun 60-an, sebagaimana wacana posmodernisme mulai dikenal. Bahkan, keberadaan chicklit (novel populer) di Indonesia sebagai bagian dari genre karya sastra, juga dikemukakan oleh seorang penulis chicklit, Icha Rahmanti-lewat tulisan Eriyanti Nurmala Dewi- yang mengatakan bahwa payung besar chicklit adalah popular fiction.

Akan tetapi, sebagai genre baru, chicklit tentunya mempunyai medan sosial tersendiri yang dapat dimaknai di antara keberadaannya dengan genre karya sastra lainnya. Untuk meneropong celah tersebut, dapat dilihat dari bahan dasar sebuah karya sastra.

Pengalaman dan imajinasi merupakan bahan dasar karya sastra. Sebagaimana genre karya sastra (prosa, puisi dan drama), chicklit sebagai novel populer pun mengandung kedua bahan dasar tersebut. Tinjau saja bagaimana tema dalam chicklit mengungkapkan tentang keseharian perempuan berusia 20-30 tahun dengan masalah-masalah yang dihadapinya, terutama mengenai quarter life crisis atau kegelisahan perempuan pada usia sekitar seperempat abad, semisal ketika memperjuangkan hasrat karir dan cinta yang harus terbentur dengan budaya, sosial dan agama. Tema-tema tersebut merupakan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat (perempuan) kota yang kemudian diimajinasikan kembali oleh penulis melalui proses struktural fiksi semata, seperti plot, perwatakan, latar, dan sudut pandang.

Selanjutnya, setelah kedua bahan tersebut, hal lain yang diperhatikan adalah pengolahan tanda-tanda melalui bahasa atau signification. Praktik pengolahan tanda tersebut bertujuan untuk memperoleh makna estetik dari sebuah karya sastra. Biasa disebut dengan proses semiosis. Melalui bahan dasar inilah, makna estetik chicklit dapat ditelusuri.

Tinjau saja gaya bahasa dalam chicklit, yaitu gaya bertutur yang terkesan ringan, layaknya bercerita lisan atau beragam lisan yang berfungsi untuk memberikan kedekatan dengan pembaca agar tercapai efek “membaca diri sendiri”, dan selalu dibumbui dengan humor yang tidak berfungsi sebagai motif atau respons psikis, tetapi hanya menghibur—mencapai efek tawa. Dengan demikian, gaya bahasa (stylemes) dan proses mengimajinasikan kembali realitas melalui proses struktural semata—sebagaimana telah disebutkan di atas—hanya menghasilkan efek yang segera dan “miskin” kualitas estetik. Atau menurut Baudrillard, adanya pemiskinan atau minimalisasi kualitas pertandaan (signification) yang sesungguhnya, yang dikenal dengan kitsch.

Kitsch sebagai salah satu idiom estetik di dalam wacana posmodernisme, merupakan bagian dari kebudayaan massa yang melahirkan fiksi populer sebagai bacaan untuk kesenangan pembaca dan mementingkan selera pembaca semata, seperti yang diungkapkan oleh Walter Nash di dalam bukunya, Languange in Popular Fiction.

Kitsch bersifat ikonik, adanya transformasi dan pengkultusan ikon dan simbol dari objek-objek budaya yang menjadi barang-barang konsumtif. Tinjau saja bagaimana ikon-ikon material sebagai gaya hidup tokoh yang selalu dijumpai dalam chicklit yang kemudian menjadi pola-pola konsumsif dan mengabaikan makna-makna mitologis, ideologis dan spiritual.

Estetik bahasa atau pengolahan tanda-tanda (signification) dalam chicklit hanya sebagai bentuk komunikasi untuk menghasilkan makna yang segera tampak dan kegairahan atau puncak kesenangan dalam menggunakan (memaknai) objek-objek konsumsi. Pengolahan tanda-tanda bukan lagi sebagai konstruksi komunikasi yang informatif, melainkan kesenangan dalam bermain tanda, citraan dan kebutuhan hasrat.

Tentunya persoalan estetik bahasa ini akan memunculkan perdebatan selanjutnya apabila ditarik ke dalam wacana posmodernisme. Ia menjadi gugur, sebagaimana di dalam wacana posmodernisme, batasan estetika dan makna telah runtuh, dan bahasa menjadi rapuh. Terlebih lagi apabila mengacu pemikiran pakar filsafat estetika, Romo Mudji, bahwa memperbincangkan estetika akan sangat kental dengan muatan subjektivitas. Akan tetapi, usaha untuk meneropong chicklit melalui idiom estetik tersebut dimaksudkan untuk memaparkan keterkaitan antara konsumerisme dan objek-objek konsumsi di dalam masyarakat konsumer dan budaya massa seperti yang sedang menjalar di Indonesia. Dan kitsch sendiri tidak dapat dipisahkan dari fenomena budaya massa, sebagaimana chicklit hadir dalam fenomena tersebut.

Melalui sudut pandang pengolahan tanda-tanda (signification) ini, tidak mencoba memperdebatkan esensi dan mencari titik nilai dari estetik sebuah chicklit, namun bagaimana pembaca dapat memosisikan diri dalam relasi-relasi (jejaring) medan makna dan sosial—sebagai beberapa ciri dalam wacana posmodernisme. Mengutip Yasraf, bahwa usaha ini sebagai “pembuka wawasan” bagi penjelajahan idiom-idiom estetik yang lebih kaya. Juga sebagai umpan untuk mengkaji lebih jauh mengenai pola-pola konsumtif dalam chicklit—termasuk ladlit, teenlit, dan sebagainya—dengan wilayah kajian budaya (cultural studies).

Akhirul, masyarakatlah (pembaca)—sebagai subjek yang dibentuk oleh peristiwa konsumsi—yang berada dalam fragmentasi kebudayaan dan relasi sosial, yang berhak menyikapi. Seorang kritikus sastra Malaysia, Tehrani, ber-idiom: Tepuk dada tanyalah selera! Atau Gue Banget!***

*) Penulis, Anggota Caraka Cultura Studies (CCS) Bandung.
Pernah aktif di Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film (GSSTF) Unpad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar